Nama penuh Saad bin Abi Waqas adalah Saad Bin Malik bin Uhaib bin Abdul Manaf bin Zuhrah bin Kilab. Beliau dilahirkan 23 tahun sebelum Hijrah dan merupakan bapa saudara nabi dari sebelah ibu. Saad termasuk dalam kumpulan yang pertama memeluk Islam dan semasa itu berumur 17 tahun. Beliau turut serta dalam perang Badar dan seluruh peperangan yang lain bersama Nabi Muhammad dan merupakan orang yang pertama memanah pada jalan Allah. Sa’ad memang seorang pemanah terkenal, sebagaimana penuturannya: “Demi Allah, sayalah orang pertama yang melepaskan anak panah di jalan Allah.”
Peristiwa itu terjadi ketika Rasulullah mengutus 60 orang ke Mekah di bawah pimpinan Ubaidah bin Haris. Mereka diutus karena kaum kafir Quraisy sering melakukan pelanggaran terhadap isi Perjanjian Hudaibiyah. Di antara 60 orang itu, salah satunya adalah Sa’ad. Setibanya di Hijaz, mereka menuju mata air yang bernama Wadi Rabig. Ternyata, di sana telah menunggu pasukan kafir Quraisy yang berjumlah 200 orang di bawah pimpinan Abu Sufian. Akhirnya, kedua pasukan yang tidak seimbang itu pun saling berhadapan dan siap untuk menyerang. Melihat keadaan yang tidak begitu menguntungkan, Sa’ad dan teman-temannya berusaha untuk menghindari pertempuran. Mereka mengutus delegasi untuk melakukan perundingan dengan pihak kafir Quraisy. Dari perundingan itu maka tercapailah kesepakatan damai, sehingga pertempuran yang tidak seimbang dapat dihindarkan. Namun demikian, sempat juga terjadi pemberontakan singkat ketika beberapa anggota pasukan kafir Quraisy menyerang. Saat itu, Sa’ad yang bersenjatakan panah dengan gagah berani melepaskan anak panahnya. lnilah anak panah yang pertama dilepaskan untuk membela agama Allah, yang membuat Sa’ad terkenal sebagai pemanah pertama di jalan Allah.
Kisah Sa’ad bin Abi Waqqash – Keahlian Sa’ad dalam memanah diakui oleh semua sahabat pada masanya. Bahkan Rasulullah saw. pun mengakuinya, sampai-sampai beliau menjaminkan kedua orang tuanya untuk anak panah yang dilepaskan Sa’ad. lni terjadi ketika perang Uhud berkecamuk. Saat itu Rasulullah saw. berseru kepada Sa’ad, “Panahlah wahai Sa’ad, bapa dan ibuku menjadi jaminan bagimu!” (Hadith Riwayat Tarmizi)
Tentang hal ini Ali bin Abi Thalib berkata, “Tidak pernah saya dengar Rasulullah menyediakan ibu bapaknya sebagai jaminan seseorang, kecuali bagi Sa’ad.”
Ketakwaan Saad bin Abi Waqas sebagai orang mukmin
Dikisahkan, suatu hari Rasulullah sedang duduk-duduk bersama para sahabat. Tiba-tiba beliau menatap dan menajamkan pandangannya ke suatu arah seperti sedang menunggu bisikan atau kata-kata rahasia. Kemudian beliau menoleh kepada para sahabat, lalu berkata, “Sebentar lagi akan muncul di hadapan kalian seorang laki-laki penghuni syurga.”
Para sahabat pun melihat ke segala arah untuk mengetahui siapakah laki-laki yang sangat beruntung menjadi penghuni surga itu. Tidak lama kemudian, muncullah di hadapan mereka Sa’ad bin Abi Waqqas. Tentu saja para sahabat berasa kagum, bahkan sebahagian daripada mereka tetanya-tanya apakah gerangan yang menjamin Sa’ad masuk surga?
Salah seorang sahabat yang tetany-tanya itu adalah Abdullah bin Amr bin Ash. Dia mendatangi Sa’ad di rumahnya, kemudian meminta Sa’ad untuk memberi tahu rahasia amalannya yang menjaminnya sebagai penghuni syurga.
“Wahai Sa’ad, amal ibadah apakah yang menyebabkan engkau disebut oleh Rasulullah sebagai penghuni surga?” tanya Abdullah kepada Sa’ad.
“Amal ibadah yang kukerjakan sama dengan amal ibadah kalian.” Kata Sa’ad.
“Tidak mungkin!” sergah Abdullah.
“Jika amalmu sama dengan amalku, mengapa aku tidak terjamin masuk surga sepertimu? Kamu jangan bohong, Sa’ad. Kamu pasti memiliki amalan khusus yang membuatmu istimewa di hadapan Allah.” Desak Abdullah.
“Demi Allah, saya tidak berbohong, Abdullah. Bagaimana mungkin amalan kita berbeda, sedangkan sumber kita sama?” Kata Sa’ad cuba untuk meyakinkan Abdullah.
“Kalaupun ada yang berbeda di antara kita, yang itu menyebabkan diriku menjadi istimewa di hadapan-Nya, mungkin satu hal.” Kata Saad lagi.
“Apa hal yang satu itu, wahai Sa’ad?” Seru Abdullah tak sabar. Tampak kedua matanya berbinar-binar penuh harap.
“Aku tidak pernah menaruh dendam ataupun dengki kepada seorang pun di antara kaum muslimin. Mungkin itu yang membuatku istimewa di hadapan Allah. Wallahu a’lam,” kata Sa’ad.
Jawapan Sa’ad ini menunjukkan betapa mulia hatinya, sehingga tidak terselit sedikit pun di hatinya rasa dengki, apalagi kebencian atau dendam kepada saudara-saudaranya seimannya.
Sa'ad berpegang teguh kepada prinsip ajaran Islam.
Peristiwa yang dikaitkan dengan sifat unggul ini ialah sikapnya kepada ibunya yang memaksanya keluar dari Islam. Saad adalah anak kepada Hamnah binti Abu Sufyan. Beliau amat patuh dan taat kepada ibunya. Apabila ibunya mengetahui Saad memeluk Islam, ibunya sangat marah dan bersumpah tidak akan berbicara dengan Saad dan tidak akan menjamah sebarang makanan dan minuman.
Ibunya berkata: ”Wahai anakku, sekiranya kamu tidak meninggalkan agama baru yang kamu anuti itu, aku tidak akan makan dan minum sehingga aku mati. Apabila aku mati penduduk Mekah akan mencela kamu sebagai pembunuh ibunya sendiri.”
Saad berkata kepada ibunya: ”Wahai ibuku, sekiranya ibu mempunyai 100 nyawa dan nyawa-nyawa itu keluar satu persatu dari tubuh ibu, aku tetap tidak akan meninggalkan agamaku. Apabila ibu berasa lapar, makanlah dan sekiranya ibu tidak mahu makan, tak usahlah makan.”
Akhirnya ibunya mengalah dan menjamah semula makanan dan minuman.
Berhubung dengan peristiwa ini Allah s.w.t telah berfirman “Dan jika kedua ibubapa kamu memaksa kamu supaya mempersekutukan Aku dengan sesuatu tanpa pengetahuanmu, maka janganlah kamu menurutinya namun gauli mereka dengan baik di dunia. Ikutlah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku, hanya kepada Akulah tempat kembali dan Aku khabarkan kepadamu apa yang kamu lakukan.” (Surah Luqman ayat 15)
Sa’ad bin Abi Waqas sebagai kesatria berkuda yang gagah berani.
Dia mempunyai 2 senjata yang amat kuat, iaitu panahnya dan doanya. Jika dia memanah musuh dalam peperangan, pastilah akan mengenai sasarannya, dan jika dia menyampaikan suatu permohonan kepada Allah pastilah dikabulkan-Nya. Hal ini disebabkan oleh doa yang diucapkan Rasulullah saw., ketika pada suatu hari Rasulullah menyaksikan sesuatu yang menyenangkan dalam diri Sa’ad.
Kerana sangat berkenan, Rasullah s.a.w pun berdoa:
“Alhhumma saddid ramyatahu wa ajib da’watahu.” (Ya Allah, tepatkanlah bidikan panahnya dan kabulkanlah doa-doanya). Doa manusia pilihan yang menjadi kekasih Allah inilah yang menjadi jaminan bagi ketepatan anak panah Sa’ad serta termakbul doanya.
Sejak saat itu, Sa’ad terkenal dengan doanya yang sangat makbul. Sa’ad sendiri sedar akan kekuatan doanya, sehingga dia enggan berdoa bagi kerugian orang lain kecuali menyerahkan keputusan kepada Allah swt. Riwayat berikut menggambarkan betapa doa Sa’ad makbul, dan betapa Sa’ad benar-benar menjaga lidahnya.
Suatu hari Sa’ad mendengar seorang laki-laki memaki AIi bin Abi Thalib, Talhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. Ketiganya adalah sahabat-sahabat Nabi saw. yang utama. Mendengar makian laki-laki itu, Sa’ad merasa sangat sedih. Lalu beliau berusaha menyuruh laki-laki itu menghentikan makiannya. Nnamun orang itu tidak mengendahkannya.
“Kalau begitu, saya akan mendoakan kamu.” ancam Sa’ad.
“Rupanya kamu hendak menakut-nakutkan ku, seolah-olah kamu seorang nabi. Silakan saja mendoakan aku. Aku tidak takut!” jawab laki-laki itu menantang.
Maka Sa’ad pergi mengambil wudu, kemudian dia mengerjakan salat dua rakaat. Setelah itu, diangkatlah kedua tangannya seraya berdoa,“Ya Allah, sekiranya menurut ilmu-Mu laki-laki ini telah memaki segolongan orang yang telah beroleh kebaikan dari-Mu, dan tindakannya itu mengundang murka-Mu, maka mohon jadikanlah hal itu sebagai pertanda dan suatu pelajaran. Amin…”
Selepas Sa’ad menyelesaikan doanya, dari salah satu pekarangan rumah muncul seekor unta liar dan tanpa bisa dibendung masuk ke dalam lingkungan orang banyak, seolah-olah ada yang dicarinya. Begitu dilihatnya laki-laki pemaki, unta itu pun menerjang. Ditendangnya laki-laki itu dengan kaki-kakinya yang panjang dan kuat. Laki-laki itu tersungkur di tanah, sementara unta liar itu berdiri di atasnya sambil meraung marah. Selepas itu, unta liar itu kembali menyeksa laki-laki pemaki tadi sehingga akhirnyamereka tewas dan menemui ajal. Demikianlah gambaran kekuatan doa Sa’ad.
Keberanian dan kegagahannya sebagai seorang prajurit
Sa’ad tidak pernah tidak datang dalam setiap peperangan yang diikuti oleh Nabi saw. Setelah Nabi saw. wafat, dia juga tetap menjadi salah seorang prajurit kepercayaan para khalifah. Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab, Sa’ad diangkat menjadi panglima perang Qadisiyah yang amat menentukan keberhasilan syiar lslam di wilayah lraq. Perang Qadisiyah terjadi antara pasukan muslimin yang berjumlah sekitar 30000 orang dengan pasukan Parsi yang jumlahnya mencapai 100000 orang.
Saat memimpin perang, Sa’ad sedang sakit. Sekujur tubuhnya dipenuhi bisul yang sangat menyeksakan dan berpecahan setiap kali tubuhnya terhentak di atas kudanya. Namun, meskipun sekujur tubuhnya berlumuran darah akibat bisul-bisul yang berpecahan, Sa’ad tetap bersemangat memimpin pasukannya meskipun sakit yang sangat menyeksakan , dia tetap meneriakkan aba-aba dan takbir penggugah semangat dengan lantang sehingga pasukannya terus bertempur dengan semangat juang yang gigih.
‘Ayo Abdullah, serang bagian sayap kiri. Engkau al-Haris’ masuk ke jantung pertahanan musuh. Engkau Fulan, ke arah sana. Ayo kita sambut surga’ Allahu akbar!”
Teriakan Sa’ad yang lantang dan penuh semangat terbukti mampu membangkitkan semangat jihad pasukannya. Pasukan muslimin yang kalah dalam jumlah yang banyak mampu mengungguli pasukan musuh dalam semangat dan keberanian, Mereka bertempur tanpa takut atau gentar, bahkan seakan-akan mereka berebut menyambut kematian. Dan memang demikianlah adanya, mati sebagai syahid di jalan Allah adalah dambaan setiap diri prajurit muslim yang gagah berani itu, Akhirnya peperangan yang menelan ribuan korban itu telah dimenangi oleh pasukan muslimin, setelah panglima perang Persi terbunuh terlebih dahulu sehingga pasukannya kucar-kacir. Dalam sakitnya, Sa’ad masih membuktikan keperwiraannya sebagai seorang kesatria berkuda yang teguh. Pantaslah jika Khalifah Umar bin Khattab mempercayakan kepemimpinan pasukan muslimin di Qadisiyah kepadanya
Sa’ad meninggal pada usia yang sangat lanjut, sehingga dia termasuk sahabat Nabi yang meninggal paling akhir. Ketika hendak menemui ajalnya, Sa’ad meminta anaknya untuk membuka sebuah peti yang ternyata isinya adalah sehelai kain tua yang telah usang dan lapuk. Sa’ad meraih kain itu dari tangan putranya, kemudian menciumnya dengan penuh perasaan.
“Telah kuhadapi orang-orang musyrik waktu perang Badar dengan memakai kain ini. Aku telah menyimpan kain ini sekian lama untuk keperluan seperti hari ini.” kata Sa’ad.
“Apa maksud ayah?” tanya putranya.
“Anakku, setelah aku mati nanti, kafanilah jasadku dengan kain ini. Aku ingin menghadap Allah dengannya.” kata Sa’ad.
Setelah itu, Sa’ad menghembuskan napasnya yang terakhir. Jasadnya dikafani dengan sehelai kain lusuh, kemudian dimakamkan di dekat sahabat-sahabat Nabi saw. yang telah mendahuluinya.
No comments:
Post a Comment